Candi Tawangalun Di Sidoarjo

18/05/2013 09:15

 

 CANDI TAWANGALUN, SEBUAH PENINGGALAN SEJARAH YANG SANGAT BERNILAI, BERLOKASI DI DESA BUNCITAN, KECAMATAN SEDATI. CANDI INI PALING TIDAK TERAWAT DIBANDINGKAN CANDI-CANDI LAIN DI KABUPATEN SIDOARJO.

Untung saja, di depan onggokan batu bata merah itu ada papan nama bertuliskan CANDI TAWANGALUN dalam huruf kapital. Kalau tidak, barangkali tak ada pengunjung yang tahu bahwa bangunan yang berantakan itu candi bersejarah. Benar-benar tak ada sosok candi yang tersisa dari Candi Tawangalun. 

Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda dengan Candi Pari atau Candi Sumur di Kecamatan Porong. Bangunannya masih cukup meyakinkan, masih terlihat sosok aslinya, sebagai candi. "Kalau dibilang berantakan, ya, memang begitulah. Soalnya, nggak jelas kapan direnovasi," tutur Ahmad Syaiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, kepada saya di situs Candi Tawangalun, Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, kemarin.

Pria kelahiran 5 Januari 1971 ini empat tahun lalu dipercaya sebagai penjaga alias juru kunci. Sejak itulah, Syaiful berusaha memperhatikan situs budaya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Buku tamu ia siapkan untuk mendata pengunjung. Ia juga siap dengan sejarah singkat Candi Tawangalun yang ia hafal di luar kepala. 

"Anda ini wartawan pertama yang datang ke Candi Tawangalun," ujarnya menyambut saya.
Sama dengan candi-candi lain di Sidoarjo, Candi Tawangalun pun merupakan warisan Majapahit. Model batu bata merah, konstruksi bangunan, lokasi... semuanya khas Majapahit. Entah mengutip dari sumber mana, Syaiful Munir menyebutkan, Candi Tawangalun didirikan pada 1292 pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun). Sang raja punya selir bernama Putri Alun. 

Nah, menurut Syaiful, Candi Tawangalun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Luar biasa! "Zaman sekarang mana ada cowok yang mau buat candi atau rumah untuk ceweknya? Makanya, cinta anak-anak zaman sekarang tidak ada yang abadi. Cintanya instan dan langsung hilang," komentar Syaiful, yang memang seniman dan suka humor itu.

Syaiful juga meyakinkan, Candi Tawangalun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta oleh warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh. Mereka, kata Syaiful, juga tidak mengharapkan upah atau imbalan. 

"Lain dengan orang sekarang. Kalau mau buat apa-apa minta uang dulu. Garapannya bagus atau tidak, nggak ngurus. Saya banyak belajar dari sejarah orang-orang zaman dulu, Mas," ujar sang juru kunci yang baru saja menyelesaikan lukisan potret wanita asal Tapanuli, Sumatera Utara.

Meski dipersembahkan untuk Putri Alun, tutur Syaiful, Candi Tawangalun sejak dulu dianggap sebagai monumen milik warga asli Buncitan. Mereka percaya bahwa cikal-bakal dusun di tengah tambak itu tak lain didirikan oleh Putri Alun. Karena itu, setiap 1 Syuro warga ramai-ramai melakukan bancakan di kompleks Candi Tawangalun. "Tanggal 1 Syuro sekarang juga ada bancakan. Pokoknya, sudah jadi tradisi setiap tahun," tukasnya.

Penduduk asli Buncitan, kini, tinggal 30 persen; sisanya pendatang baru. Toh, acara bancakan dan persembahan kepada pendiri Desa Buncitan tidak pernah hilang. Bahkan, warga pendatang yang 70 persen ini pun tak ketinggalan dalam bancakan 1 Syuro di Candi Tawangalun. "Siapa sih yang nggak senang diajak makan enak?" ujar Syaiful seraya tertawa kecil.

Bancakan dan ritual-ritual tradisi, lanjut dia, sangat penting karena Candi Tawangalun ternyata punya nilai mistik tersendiri. Kata orang-orang 'pintar', candi sederhana yang terkesan berantakan itu sangat sakral dan cocok untuk meditasi, semedhi, atau bertapa. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Syaiful ketika masih anak-anak.

Suatu hari ada seorang bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di rumahnya. Dia tidak tahu kalau batu candi tidak boleh diganggu gugat karena dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya serta punya nilai mistik yang luar biasa. Bapak itu nekat saja. Batu candi dipasang di rumahnya. Apa yang terjadi?

"Malam hari dia melihat orang datang menggebuk dia. Badannya sakit nggak karuan. Akhirnya, batu yang sudah ditembok itu dibongkar, dikembalikan ke kompleks candi," tutur Syaiful. Bukan itu saja. Beberapa waktu kemudian, si bapak meninggal dunia. 

TEMPAT TIRAKATAN

Candi Tawangalun di Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, memang kalah populer dengan Candi Pari atau Candi Sumur di Porong. Tapi, bagi pemburu nomor togel, kompleks candi ini merupakan tempat favorit bagi mereka. 
...............

DUA orang buta, tujuannya mencari rezeki! Begitu tulisan Ahmad Syaiful Munir, penjaga alias juru kunci Candi Tawangalun di buku tamunya. Di lembaran buku tamu yang lain tertulis nama-nama anak sekolah, biasanya SLTA, yang mendapat tugas dari gurunya untuk menengok situs sejarah di Kabupaten Sidoarjo. 

Tapi, daftar tamu terbanyak tetaplah para 'pemburu rezeki', bahasa halus untuk pencari nomor togel (toto gelap). "Saya akui, sebagian besar pengunjung memang datang untuk cari nomor togel. Istilahnya, grandong. Kalau wartawan, ya, baru Anda," ujar Ahmad Syaiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, kepada saya.

Para pemburu nomor togel itu, menurut Syaiful, tak hanya orang buta, tapi berbagai kalangan. Ada yang datang sendiri, ada yang dua orang, tiga orang, lima orang, bahkan rombongan besar. Di malam yang dingin dan gelap--maklum, kompleks Candi Tawangalun tidak ada penerangan dan bergandengan dengan makam Desa Kalianyar--para pemburu nomor itu bertapa. Meditasi. Duduk berjam-jam sampai datang bisikan dari 'dunia lain' untuk menembak angka-angka tertentu.

Yang sudah tirakatan pulang, datang lagi grandong-grandong lain. Tujuannya, ya, sama saja. "Ada juga yang datang untuk meditasi biasa, tapi tetap lebih banyak grandongnya. Sebgai tuan rumah, silakan saja mereka tirakatan di Candi Tawangalun. Dan itu tidak boleh dilarang," ujar pria kelahiran Buncitan, 5 Januari 1971 ini.

Adakah nomor hasil tirakatan di Candi Tawangalun jitu? Syaiful tertawa kecil. Katanya, jitu atau tidak bukan urusan dia sebagai juru kunci. Hanya saja, banyak yang yakin bahwa kompleks candi yang didirikan pada 1292 itu tetap memiliki daya tarik dari segi spiritualitas. Sebab, bagaimanapun juga bangunan sederhana dari batu bata merah itu memang diniatkan untuk olah batin. 

"Yang jelas, kalau mereka dapat nomor, saya nggak pernah kebagian. Rezekinya mereka yang grandong-grandong itu," tukas pelukis potret pesanan itu.

Apa pun kata orang, tamu-tamu pencari nomor togel ini membuat suasana di Candi Tawangalun selalu 'hidup' pada malam hari. Setidaknya masih banyak orang, meski kalangan terbatas, mengetahui keberadaan Candi Tawangalun di Desa Buncitan. "Kalau pelajar dan mahasiswa hanya sekali-sekali saja. Yang rutin tetap mereka yang mencari rezeki," kata Syaiful seraya tersenyum.

Setelah diangkat menjadi juri kunci, empat tahun lalu, Syaiful mengaku sering meminta Dinas Purbakala di Mojokerto untuk merenovasi bangunan Candi Tawangalun. (Candi-candi di Kabupaten Sidoarjo memang dikelola langsung oleh Dinas Purbakala, bukan Pemkab Sidoarjo!) Sebab, bangunan yang ada sekarang sejatinya sudah jauh dari bentuk aslinya. Batu bata berantakan dan ketinggian candi kurang dari separuhnya. Di Dinas Purbakala, kata Syaiful, juga sudah ada gambar rekonstruksi Candi Tawangalun sesuai dengan arsitektur asli khas Majapahit.

Tapi, kendalanya lagi-lagi biaya yang sangat terbatas. Begitu banyak bangunan cagar budaya, khususnya candi, yang buruh renovasi, sementara dana tidak cukup. "Terus terang saja, Candi Tawangalun belum jadi prioritas Dinas Purbakala. Saya tidak tahu masuk prioritas nomor berapa," kata Syaiful.

Meski begitu, Syaiful mengaku bangga dan sangat menikmati pekerjaan sebagai juru kunci Candi Tawangalun di Bucitan. Menjadi penjaga candi, katanya, berarti belajar sejarah, mendalami kehidupan dan kekayaan budaya pada ratusan tahun lalu. 

"Belajar sejarah itu asyik, membuat kita sehat. Lain dengan anak-anak sekarang yang nggak peduli masa lalu, hanya pikir masa depan thok. Makanya, jangan heran anak-anak sekarang banyak yang setres," pungkasnya. 

PENCARI TOGEL 

Untung ada togel, toto gelap. Gara-gara judi gelap kelas rakyat jelata inilah bangunan-bangunan cagar budaya di Sidoarjo seperti Candi Tawangalun ramai dikunjungi.
Inilah yang dirasakan Ahmad Syaiful Munir, penjaga alias juru kunci Candi Tawangalun, di Dusun Buncitan, Desa Sawohan, Kecamatan Sedati. "Kalau nggak ada togel, saya yakin, candi ini akan sepi," ujar Syaiful Munir.

Bagaimana tidak. Selama ini pengunjung paling setia Candi Tawangalun tak lain para pencari nomor togel dari berbagai daerah di Sidoarjo, bahkan kabupaten lain. Setiap malam menjelang penarikan togel, mereka ramai-ramai datang ke kompleks candi untuk tirakatan.

"Saya menyebut mereka sedang berusaha mencari rezeki. Namanya juga cari rezeki, ya, caranya macam-macam. Yang penting, sopan, tidak mengambil batu candi, atau mengganggu ketenangan masyarakat," tutur Syaiful Munir yang juga dikenal sebagai pelukis potret itu.

Tentu saja, sebagai pegawai honorer resmi Dinas Purbakala, Syaiful Munir sebenarnya kurang sreg dengan kondisi ini. Ia lebih senang kalau pengunjung Candi Tawangalun didominasi anak-anak muda, pelajar, mahasiswa, penelitia, turis lokal dan manca. "Tapi kapan ya terlaksana? Kalau jadi sasaran pemburu togel thok, image bangunan cagar budaya jadi rusak," tukas Syaiful Munir.