Candi Pari Di Sidoarjo

18/05/2013 09:13

 

Hm, Berbeda dengan kota tetangganya, Surabaya, ternyata Kabupaten Sidoarjo yang sarat akan bangunan pabrik ini menyimpan banyak sekali peninggalan sejarah era Klasik Indonesia, Candi Pari adalah salah satunya. Candi Pari sendiri berada di Dusun Candi Pari Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
 
Bacpacker ke Candi Pari
 
Tak banyak yang tahu ternyata letak Candi Pari berseberangan dengan Kolam Lumpur Panas Lapindo, bersanding dengan Candi Sumur, Candi Pamotan I dan II serta Candi Wangkal. Jika ditarik garis lurus, Candi Pari hanya berjarak 2,5 Km dari Jalan Raya Porong.
 
  >  Jika kita berkendara sendiri, maka kita dapat mengarahkan kendaraan kita menuju Kolam Lumpur Panas lapindo. Dari sini kita dapat menanyakan lokasi candi ke penduduk setempat yang sangat mengenal candi ini.
 
  >  Jika memakai kendaraan umum, maka kita dari arah Surabaya kita dapat naik bus menuju Pandaan atau bus menuju Pasuruan, bilang turun di porong tepatnya di Tugu Kuning. Dari sini kita dapat naik ojek atau becak menuju candi. Jarak yang ditempuh sekitar 4 Km.
 
>  Saat disini, saya juga melihat adanya penampakan angkot. Setelah saya telusuri, ada angkot dengan kode HV yang lewat Desa Candipari, jumlahnya hanya 15 angkot saja, dengan rute : Pasar Porong – Siring – Pamotan – Wunut – Candipari – Kedungborto – Waung – Jiken – Ploso – Mojoruntut – Krembung – PP.
 
Deskripsi Dan Sejarah Bangunan
 
Candi Pari memiliki bentuk yang tambun mengingatkan kita akan candi – candi di Jawa Tengah. Candi dari batu bata merah ini memiliki tinggi 15,40 meter, panjang 16 meter dan lebar 14,10 meter. Candi Hindu ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Hal ini terbukti dari adanya pahatan angka tahun 1293 saka (1371 M) di ambang pintu masuk candi.
 
Candi Pari bisa dibilang masih memiliki bentuk yang utuh, kaki dan badan candi masih ada hanya sebagain atap candi sudah tidak ada. Candi Pari minim sekali akan hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya miniatur candi yang menjorok keluar dari badan candi. Di atas miniatur candi ini terdapat hiasan berupa teratai. Di kanan – kiri miniatur candi ini terdapat lubang angin yang langsung tembus ke dalam bilik candi. Pada bagian atap candi sebenarnya ada hiasan binatang, namun sekarang sudah dalam kondisi yang aus.
 
Keunikan lainnya mengenai Candi Pari selain bentuknya yang tambun adalah tangga pintu masuk. Jika candi – candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju bilik candi, maka hal ini tidak berlaku bagi Candi Pari. Untuk menuju bilik candi, sebelumnya akan ada  sebuah bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu candi (hal ini juga dapat dilihat di Candi Ngetos dan Candi Bangkal). Dikanan dan kiri batur tersebut terdapat tangga dengan pipi tangga (tempat pegangan) dalam kondisi yang telah  runtuh. Di beberapa sudut halaman candi juga terdapat reruntuhan batu bata, kemungkinan merupakan bekas pagar yang mengelilingi Candi Pari.
 
Di dalam bilik candi terdapat beberapa batu andesit, arca – arca dalam kondisi yang tak utuh serta beberapa balok kayu. Pada dinding bilik candi yang berhadapan dengan pintu masuk candi, terdapat sandaran arca dengan ukuran 6 x 6 meter. Mengingat besarnya sandaran arca, pasti besar pula arca yang menempati bilik Candi Pari ini. Namun, entah arca apa yang berada disana, mengingat arca tersebut tak pernah diketemukan.
 
 
Pemugaran
 
            Sudah banyak literature dan foto tentang Candi Pari sejak zaman Belanda. Salah satu diantaranya adalah N.J.Krom, yang menerbitkan bukunya Inlejding tot de Hindoe-Java asch Kunst  tahun 1923.

            Pada zaman kolonial belanda pula, Candi Pari pernah dipugar, pemugarannya antara lain memasang kayu pada bagian langit – langit pintu masuk. Pada tahun 1994-1999 Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Jawa Timur melakukan pemugaran kembali Candi Pari, dan tentunya dibantu oleh Pak Mustain, juru pelihara Candi Pari.
 
Legenda
            Masyarakat sekitar mengenal Candi Pari dan Candi Sumur sebagai Candi Lanang (Candi laki-laki) dan Candi Wadon (Candi Perempuan). Hal ini dikarenakan legenda tentang tokoh Joko Pandelegan.
 
            Alkisah, hiduplah Joko Walangtinuk dan Joko Pandelegan sahabatnya. Mereka berdua hidup di Desa Kedungtas dan membabat hutan untuk ditanam padi. Hasil panennya melimpah hingga Raja Hayam Wuruk mengirim orang kesana untuk meminta padi.
            Imbalannya, Joko Walangtinuk diangkat jadi pejabat di Keraton Majapahit. Joko Walangtunik setuju asalakan Joko Pandelegan juga boleh diajak. Namun, Joko Pandelegan beserta istrinya Nyi Roro Walang Angin menolak karena ingin tetap hidup di desa.
          Akhirnya, Joko Pandelegan masuk ke dalam lumbung, sedangkan Nyi Roro Walang Angin masuk ke dalam sumur. Mereka berduapun muksa disana. Untuk mengenangnya, Raja Hayam Wuruk membangun candi di tempat kedua orang itu menghilang. Candi – candi itu sekarang kita kenal dengan sebutan Candi Pari dan Candi Sumur.
 
            Sayangnya, selama hampir satu jam saya disana, saya tidak bertemu satupun juru pelihara candi, padahal Candi Pari memiliki 3 juru pelihara. Padahal juga sudah dihubungi Bu Maryati yang memiliki warung di depan Candi Pari (suaminya salah satu jupel). Katanya sih, suaminya sedang cari rumput. Tak ada sumber yang bisa ditanyai, apalagi tentang sejarah penemuan Candi Pari.
 
Candi Pari
 
            Bagaimanapun juga, Candi Pari sebenarnya sangat cocok dijadikan sebagai tempat rekreasi alternatif. Apalagi kalau wisatawan yang dari dan ke Bromo juga dibelokkan ke Candi Pari dan Candi Sumur setelah mereka mengunjungi Lumpur Panas Lapindo. Walaupun Candi Pari berada di lahan luas, memiliki taman yang tertata beserta kamar mandi, namun sangat jarang orang berkunjung kesini, apalagi kalau bukan musim liburan. O, Ya, jangan lupa juga berkunjung ke Candi Sumur yang berada 100 meter dari Candi Pari.
sumber :https://sebuah-dongeng.blogspot.com

Candi Pari di Desa Candipari, Kecamatan Porong, semakin merana. Objek wisata budaya dan sejarah yang sebenarnya bisa dijadikan andalan ekonomi masyarakat sekitar ini terkesan mangkrak, tidak terurus.

Tak ada seorang pun pengunjung ke sana. Padahal, saat itu anak-anak sekolah tengah menikmati liburan panjang. "Pengunjungnya, ya, sampeyan sendiri," kata Maryati, pemilik warung di depan Candi Pari.

Maryati, yang juga istri Tasmin, salah satu juru kunci Candi Pari, menambahkan, dalam sebulan terakhir ini praktis tidak ada pengunjung yang ingin menapak tilas perjalanan sejarah di Kabupaten Sidoarjo. Beberapa waktu lalu, kata Maryati, sempat ada rombongan wisata anak-anak sekolah dari Tulangan.

"Setelah itu nggak ada lagi. Makanya, jualan saya nggak laku-laku," tukas wanita ini seraya tersenyum. Kunjungan dari pejabat, turis asing, hingga peneliti pun tak ada.

Maryati memperkirakan, minimnya pengunjung ke kompleks Candi Pari karena objek wisata itu tidak punya sarana hiburan anak-anak seperti kolam pemandian dan fasilitas bermain lainnya. Ini berbeda dengan beberapa tempat hiburan anak-anak di Tulangan atau Tanggulangin yang lebih menghibur.

Apa yang bisa dinikmati di Candi Pari selain tumpukan batu berusia ribuan tahun? Daya tarik untuk hiburan dan rekreasi di mana? Begitu komentar beberapa warga yang sempat berbincang dengan saya di kompleks Candi Pari. 

Satu-satunya jalan untuk 'menghidupkan' Candi Pari adalah dengan menciptakan fasilitas rekreasi dan hiburan. 

"Selama ini orang cuma lihat dari mobil saja, nggak sampai turun. Lain dengan dulu, mereka turun untuk lihat-lihat atau beli makanan," keluh Ny Maryati.

Dijumpai di rumahnya, Desa Wunut, sekitar satu kilometer dari Candi Pari, seniman senior Sukarno melihat kasus Candi Pari ini sangat kompleks. Persoalan utama, katanya, pengelolaan Candi Pari (dan candi-candi lain di Sidoarjo) berada di tangan Dinas Purbakala. Pemkab Sidoarjo, khususnya Dinas Pariwisata-Budaya, tidak ikut-ikutan dalam mengelola candi peninggalan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Jenggolo itu.

"Saya bisa mengerti karena biaya perawatan tidak kecil. Apalagi, kalau harus dikembangkan menjadi objek wisata sejarah budaya di Sidoarjo," kata Sukarno, yang juga mantan ketua Dewan Kesenian Sidoarjo.

Andai saja Pemkab Sidoarjo punya uang dan komitmen pariwisata-budayanya tinggi, Karno yakin banyak yang bisa dilakukan untuk menata ulang objek wisata Candi Pari dan Candi Sumur. (Candi Sumur hanya terpaut sekitar 70 meter dari Candi Pari, sama-sama terletak di Desa Candipari.) Dan, itu membutuhkan biaya sangat besar.

Kalau mau, lanjut Karno, pemkab membebaskan rumah-rumah di kompleks dua candi itu sehingga ada hamparan yang luas. Nanti ada objek wisata utama (Candi Pari dan Candi Sumur), tempat jual-beli suvenir, stan PKL, areal parkir, perpustakaan, museum dan dokumentasi sejarah, dan fasilitas lainnya. 

Selama Candi Pari dan Candi Sumur dibiarkan 'apa adanya' seperti sekarang, Karno pesimistis kawasan itu bisa menjadi andalan wisata Kabupaten Sidoarjo. Kompleks candi hanya sekadar situs tua yang semakin lama semakin kehilangan pesona. 

Apa boleh buat, kompleks Candi Pari tidak memberikan efek berganda di bidang ekonomi kepada warga sekitar dan Kabupaten Sidoarjo. "Itu semua tergantung visi para pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif," tukas Karno.

Dalam bayangan seniman senior ini, kompleks Candi Pari dan Candi Sumur bisa didesain menjadi objek wisata terpadu dengan sentra industri Tanggulangin. Sebab, jarak antara Tanggulangin (khususnya Intako) dan Candi Pari sangat dekat. "Seharusnya setelah belanja di Tanggulangin, mampir ke Candi Pari," kata Sukarno, yang juga pelukis dan pembina seni tradisi itu. 


Mustain (45 tahun), juru kunci Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candi Pari sejak hampir satu tahun terakhir tergolek lemah di rumahnya. Pak Tain, sapaan akrabnya, lumpuh total akibat stroke.

ENTAH apa penyebab Mustain menderita penyakit yang selama ini disebut-sebut hanya monopoli orang-orang 'papan atas'. Bagaimana mungkin wong cilik, sederhana, aktif bergerak, berjemur di terik matahari, bisa stroke? Ada apa?
Begitulah pertanyaan spontan yang beredar di kalangan warga kompleks Candi Pari.

"Mungkin sudah diatur begitu oleh Yang Kuasa (Tuhan). Kita ini nggak tahu kapan kita sakit atau meninggal," ujar Maryanti, istri Tasmin, juru kunci 'cadangan' pengganti Mustain, kepada saya.

Mustain, ayah tiga anak, selama ini identik dengan Candi Pari. Informasi apa pun tentang candi bersejarah itu hanya bisa diperoleh dari dia. Mustain ibarat kamus hidup tentang Candi Pari dan Candi Sumur, kemampuan yang belum bisa dikuasai oleh tiga 'juru kunci' cadangan yang ada sekarang. 

Sayang sekali, dalam kondisi stroke berat Mustain tidak bisa berbicara, apalagi harus bercerita secara runut kayak dulu. Dia hanya tidur, beristirahat, dan dilayani keluarganya. "Kasihan sekali, Mas. Moga-moga Gusti Allah bisa memberi kesembuhan karena usianya masih belum sepuh. Dulu sampeyan kan lihat sendiri orangnya sangat lincah," tambah seorang warga Desa Candipari.

Memang. Ketika Candi Pari dan Candi Sumur direnovasi oleh pemerintah pusat, Mustain ibarat 'saksi ahli' merangkap pekerja lapangan. Maklum, pengalaman selama 20 tahun lebih membuat Mustain hafal semua detail candi. Bagian mana saja yang hilang, batu yang berpindah, mana yang rusak karena lumut, dan seterusnya sangat dikuasai.

Keterangan beliau sering dipakai sebagai bahan penulisan 'sejarah' Candi Pari dan Candi Sumur. Sejarah asli dua candi itu tidak begitu jelas tercatat dalam naskah-naskah resmi. Mustain pun sangat menguasai hikayat atau cerita rakyat seputar keberadaan Candi Pari dan Candi Sumur.

Menurut Pak Tain, Candi Pari dan Candi Sumur adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. "Pari sebagai simbol padi, sementara sumur sebagai simbol air untuk memasak. Keduanya tidak bisa dipisahkan," ujar Mustain beberapa bulan lalu ketika masih segar-bugar.

Untuk menanak nasi, lanjut dia, kita perlu air. Dan, kedua bahan penting ini (padi dan sumur) bisa kita peroleh dengan mudah dari bumi. Kehadiran Candi Pari dan Candi Sumur di Sidoarjo secara tak langsung menceritakan kepada kita, di zaman sekarang, bahwa pada masa lalu Kerajaan Jenggolo (wilayah Sidoarjo sekarang) adalah lahan subur. 

Bahkan, Jenggolo disebut-sebut sebagai lumbung pangan untuk Majapahit. Sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Maha Kuasa, penguasa tempo doeloe mendirikan Candi Pari yang bersebelahan dengan Candi Sumur. Akankah Kabupaten Sidoarjo tetap bertahan sebagai sentra pertanian, atau lahan pertaniannya terus dikonversi menjadi perumahan dan industri? Begitu kira-kira gugatan 'bisu' dari dua candi tersebut.

Bagi Mustain, juru kunci benda cagar budaya sekaliber Candi Pari dan Candi Sumur bukanlah profesi biasa. Ia berbeda dengan profesi-profesi lain yang bisa diraih berkat pendidikan, penataran, atau pelatihan. Juru kunci sejati, kata Pak Tain, tidak sekadar tukang buka dan tutup pintu kompleks candi. Kalau sekadar begitu sih semua orang bisa, katanya.

Dalam bahasa agak filosofis, tugas juru kunci adalah membuka segala 'pintu' yang tertutup dengan 'kunci' pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Selama 20 tahun lebih Pak Tain sudah membuka 'pintu' Candi Pari dan Candi Sumur kepada begitu banyak orang. 

Mudah-mudahan saja ada orang yang masih sempat mencatat penjelasan Pak Tain, syukur-syukur membukukannya. Jangan sampai kita kehilangan informasi berharga seputar Candi Pari dan Candi Sumur gara-gara Pak Tain stroke berat.