Candi Pamotan Di Sidoarjo

18/05/2013 09:16


Desa Pamotan di Kecamatan Porong dikenal sebagai kawasan kaya situs sejarah. Namun, kondisi Candi Pamotan I dan Candi Pamotan 2 kurang terawat, penuh lumut.


Lilik Umilastri tengah sibuk membabat rumput, menyapu, serta menata kompleks candi tua tersebut. Lilik, sang juru kunci, bahkan menolak candi ini difoto sebelum beberapa jemuran diambil.

"Saya tiap hari menjaga dan membersihkan candi. Jadi, nggak enak kalau di koran muncul gambar candi yang ada jemurannya. Nanti ditanyakan pimpinan saya di Trowulan," jelas Lilik kepada saya.

Wanita ini memang PNS Dinas Purbakala yang bertugas khusus menjaga Candi Pamotan I alias Candi Wungkul (sebutan khas warga sekitar).

Berbeda dengan Candi Pari dan Candi Sumur--lokasinya di Desa Candi Pari, tak jauh dari Pamotan--Candi Pamotan jauh lebih sederhana. Dibuat dari bata merah khas Kerajaan Majapahit, bangunan tua ini berukuran panjang 4,8 meter, lebar 4,8 meter, tinggi 2,5 meter. Bagian atap dan tubuhnya praktis runtuh total. 

Yang tampak hanyalah tumpukan batu bata merah dikelilingi lubang persegi panjang yang tergenang air bila hujan.

Walujo BA, penilik kebudayaan, dalam catatannya menyebutkan, Candi Pamotan diteliti pertama kali oleh GLA Brandes, orang Belanda, pada 1903. Namun, hingga 1921 candi ini tak pernah dikunjungi para ahli. Baru tahun 1923 NJ Krom, ahli purbakala, menulis tentang candi di RT 04/RW 02 ini. 

Menurut Krom, bentuk profil Candi Pamotan lazim digunakan pada candi-candi di Jawa Timur.

Tak jauh dari situ, sekitar 50 meter, ada satu lagi tumpukan batu bata mirip candi. Dikelilingi hutan bambu, suasana di situ terasa teduh, sejuk, gelap, dan dipercaya mengandung kekuatan supranatural. Candi itu belum punya nama, sehingga gampangnya disebut Candi Pamotan 2. 

"Tapi orang-orang biasa menyebut tempat keramat," tutur Alias, suami Lilik, yang mendampingi saya ke Candi Pamotan 2.

Di samping candi penuh lumut hijau ini ada sebuah arca yang kepalanya sudah hilang. Alias sendiri tidak tahu arca apa itu. Beberapa waktu lalu, katanya, kawasan itu dikunjungi pemerintah baik dari Dinas Pariwisata Sidoarjo maupun Dinas Purbakala. Semua sepakat bahwa Candi Pamotan 2 merupakan bangunan cagar budaya seperti Candi Pamotan I di sebelahnya.

"Tapi sampai sekarang nggak ada kelanjutannya. Nggak diurus dan dibiarkan saja," kata Alias.

Meski begitu, Alias dan keluarga merasa cukup aman lantaran warga Pamotan cukup menghormati barang-barang bernilai sejarah. Buktinya, sampai sekarang tidak ada
orang Pamotan yang merusak, apalagi mencuri batu bata peninggalan Majapahit itu. 

Justru yang sering iseng adalah orang luar yang punya kepentingan tertentu. 

Candi Pamotan 1 dan Pamotan 2 yang tak terurus membuat situs penting ini belum menjadi objek kunjungan masyarakat. Jangankan warga luar Sidoarjo, warga di kawasan Candi Pamotan pun belum tahu lokasi persisnya. Ini saya rasakan sendiri. Informasi dari beberapa pedagang keliling di Pamotan, juga tukang becak, ternyata ngawur total. 

"Maklum, mereka itu banyak yang datang dari luar," ujar Lilik mencoba menghibur saya.

Dari daftar tamu, tampak sekali kalau Candi Pamotan hanya sekali-sekali dikunjungi petugas Dinas Purbakala atau pelajar/mahasiswa yang mendapat tugas dari gurunya. Yang sempat ramai justru kunjungan kerja para 'ahli grandong' alias orang-orang yang bertapa untuk meminta nomor togel. Ahli-ahli grandong biasanya memilih Candi Pamotan 2 yang gelap dan perawan itu. Katanya, di sana banyak nomor jitu.

"Pernah kejadian beberapa orang cari nomor di Pamotan 2. Tiba-tiba saja mereka lari terbirit-birit karena takut. Katanya, melihat sesuatu," cerita Lilik sambil menahan tawa.

Ny Lilik, yang berjilbab ini, mengaku prihatin dengan ulah para ahli grandong. Pasalnya, mereka-mereka ini menganggap penjaga (juru kunci) sebagai orang yang bisa memberikan nomor jitu. "Masa, saya dimintai nomor. Yah, saya bentak karena memang saya nggak suka begituan," tegasnya.

Apa boleh buat. Selama candi-candi tua tidak diurus, maka pecandu-pecandu nomor togel [toto gelap, judi kelas kambing yang sangat terkenal di Jawa Timur] akan menyalahgunakannya. Kita memang alpa mengurus warisan sejarah kita sendiri.